|
Mosaik St. Petrus & St. Paulus. (Foto: Corbis) |
Jumat, 29 Juni 2012 kita memperingati Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus. Nuntius Apostolik, Yang Mulia Uskup Agung
Antonio Guido Filipazzi, merayakan Misa Agung di
Katedral Jakarta. Mendampingi beliau sebagai konselebran adalah: Uskup Agung Medan YM
Anicetus Bongsu Antonius Sinaga OFMCap, Uskup Bogor YM
Michael Cosmas Angkur OFM, Vikjen KAJ Mons. Dr. Yohanes Subagyo dan Rektor Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ Romo Dr. Simon Petrus Lili Tjahjadi.
Duta Besar Chile beserta istri dan juga Duta Besar Peru terlihat mengikuti Misa ini dengan khusyuk. Sejumlah imam dan frater dari Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ mengisi bangku-bangku terdepan. Di belakangnya, sekitar 400-an umat memenuhi bangku-bangku gereja. Misa dimeriahkan oleh paduan suara gabungan di bawah pimpinan Levi Prakasa Setiadi. Mereka menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Latin. Kepala Paroki Katedral, Romo ST Bratakartana, SJ, yang sejak sejam sebelumnya sudah memeriksa kesiapan gereja dan para petugas, juga berpartisipasi dalam Misa ini bersama seorang imam senior lainnya.
Misa dirayakan dalam bahasa Indonesia, dengan bacaan pertama, kedua dan doa umat dalam bahasa Inggris. Doa Syukur Agung dipanjatkan dalam bahasa Latin dan Indonesia oleh Nuntius dan para konselebran. Buklet Misa dalam tiga bahasa disediakan agar umat dapat mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam Misa. Berikut adalah Homili Nuntius, yang disampaikan beliau dalam bahasa Indonesia (Sumber: Kedutaan Besar Tahta Suci untuk Indonesia).
Homili Duta Besar Tahta Suci untuk Indonesia
Yang Mulia Uskup Agung Antonio Guido Filipazzi
Pada Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus
29 Juni 2012
1. Kita baru mendengar dalam Injil kata-kata yang diucapkan Tuhan Yesus untuk mempercayakan tugas yang amat penting kepada Rasul Petrus: yakni menjadi batu karang yang kokoh sebagai dasar bangunan Gereja, agar Gereja mampu menjalankan pertempuran melawan alam maut. Oleh karena itu, tugas ini bukanlah tugas yang dipercayakan kepada pribadi Petrus saja, melainkan merupakan tugas yang mesti diteruskan dalam Gereja sampai akhir jaman. Tugas ini dipercayakan kepada semua penerus rasul Petrus dan sekarang dipercayakan kepada Bapa Suci Benediktus XVI. Dalam perayaan Ekaristi ini kita ingin mendoakan Sri Paus agar Tuhan memberkatinya dan tetap memeliharanya sebagai gembala umat Kristiani, dan juga sebagai sosok penting bagi seluruh umat manusia. Paus Benediktus XVI sendiri mengajak kita untuk melakukannya dengan mengatakan: “Saudara-saudari yang terkasih, Bapa Suci sangat terhibur mengetahui bahwa setiap kali dirayakan Ekaristi, seluruh umat mendoakan Sri Paus; saya juga terhibur mengetahui bahwa doa kita menyatu dengan doa Tuhan untuk Petrus. Hanya berkat doa Tuhan dan doa Gereja, Sri Paus dapat menjalankan tugasnya untuk memperkuat umat – untuk menggembalakan kawanan Yesus serta menjadi penjamin kesatuan, yang merupakan kesaksian tersendiri akan misi Yesus sebagai utusan Bapa” (Homili Misa Perjamuan Tuhan, 2011).
2. Sebagaimana diajarkan oleh Konsili Vatikan II, yang mengacu pada iman Gereja sepanjang sejarah, Sri Paus “menjadi azas dan dasar yang kekal dan kelihatan bagi kesatuan para uskup maupun segenap kaum beriman” (LG 23). Bersama Bapa Suci dan di bawah pimpinannya, kita semua, dari seluruh dunia, menjadi Gereja yang satu.
Oleh karena itu, amat pentinglah jika setiap umat serta setiap komunitas Kristiani menjaga persekutuan sepenuhnya dengan Paus. Namun, itu tidak berarti bahwa cukuplah bagi kita untuk menyayanginya, atau merasa tertarik secara intelektual akan perkataannya, ataupun mengungkapkan antusiasme superfisial saja. Kita mesti bersatu dengan Sri Paus melalui pertalian yang obyektif, yang kelihatan, yang konkrit, yakni ikatan-ikatan yang menyatukan kita semua dalam Gereja.
“Manakah ikatan-ikatan kesatuan?” ditanyakan oleh Katekismus Gereja Katolik. Katekismus sendiri menjawab: “Terutama cinta, yakni ‘ikatan kesempurnaan’” (Kol 3:14). Tetapi kesatuan Gereja peziarah juga diamankan oleh ikatan persekutuan yang tampak berikut ini: pengakuan iman yang satu dan sama, yang diwariskan oleh para Rasul; perayaan ibadat bersama, terutama Sakramen-Sakramen; suksesi apostolik, yang oleh Sakramen Tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai saudara-saudari dalam keluarga Allah” (KGK 815).
Hari ini kita akan merenungkan secara singkat ketiga pertalian ini yang mengikat kita dengan Sri Paus, guna menjaga persekutuan dengan dia serta membangun persekutuan yang benar dalam Gereja sendiri.
3. a) Pertalian Iman. Di dalam Gereja, Petrus dan para penerusnya melanjutkan pewartaan: “Engkaulah Kristus, Putra Allah yang hidup,” yakni pernyataan yang merupakan pusat dari seluruh iman Kristiani. Pertalian pertama yang mesti kita jaga dengan Sri Paus adalah persekutuan dalam iman, dan itu terealisasikan melalui perhatian, pengetahuan dan penerimaan ajaran Gereja sendiri. Suara Sri Paus bukanlah salah satu pendapat di antara yang lain, tidak sejajar juga dengan pendapat para teolog, bahkan tidak sejajar juga dengan suara para uskup, melainkan merupakan kriteria untuk menilai ajaran-ajaran yang diajarkan dalam Gereja, serta pendapat dan teori yang disebarluaskan dalam masyarakat. Sebagaimana diajarkan oleh Katekismus Gereja Katolik, “tugas untuk menafsirkan Sabda Allah secara mengikat, hanya diserahkan kepada Magisterium Gereja, kepada Bapa Suci dan kepada para uskup yang bersatu dengannya dalam satu paguyuban” (KGK 100). Katekismus juga mengatakan bahwa: “Wewenang Mengajar biasa dan universal dari Paus dan dari para uskup, yang bersatu dengannya, mengajarkan kepada umat beriman kebenaran yang harus dipercaya, kasih yang harus dihidupi, dan kebahagiaan yang patut diharapkan.” (KGK 2034)
Paus Benediktus XVI, yang merupakan guru dalam hal iman, dan merupakan juga anugerah dari Allah kepada seluruh Gereja-Nya, telah mengajak kita untuk merayakan Tahun Iman, mulai bulan Oktober mendatang. Sri Paus mengajak kita terutama sekali untuk mengenal kembali isi dari iman Kristiani, melalui Katekismus Gereja. Harapan Sri Paus selama Tahun Iman ialah agar: “semakin diperdalam iman guna membantu semua umat Kristiani untuk lebih menyadari serta memperkuat penyerupaan mereka dengan Injil, pada jaman sekarang” (MP Porta Fidei 8).
Mari kita bertanya kepada diri kita apakah ajaran resmi Gereja dan gembala-gembalanya, dan khususnya ajaran dari Paus sendiri serta Katekismus Gereja Katolik sungguh kita ketahui dan menjadi kriteria untuk menilai pendapat-pendapat yang beredar di dalam dan di luar Gereja. Tidak perlu menanggapi pembicaraan Bapa Suci dengan bertepuktangan, melainkan dia harapkan agar ajarannyalah menjadi patokan untuk pemikiran dan perbuatan kita!
b) Ikatan Liturgi. Liturgi, yang puncaknya adalah perayaan sakramen, terutama sekali Perayaan Ekaristi, merupakan doa seluruh Gereja, doa Gereja yang satu yang terdiri dari orang kudus, orang yang sudah meninggal dan kita semua. Liturgi ialah doa dari Gereja yang tersebar di seluruh dunia dan dipimpin oleh Paus dan para uskup. Oleh karena itu, setiap kali Misa, dalam Doa Syukur Agung, kita memperingati Bunda Maria, para kudus, Bapa Suci dan para uskup, dan juga seluruh Gereja yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Katekismus Gereja Katolik mengatakan: “Karena kepada Paus diserahkan pelayanan Petrus di dalam Gereja, maka ia diikutsertakan dalam setiap perayaan Ekaristi, di mana ia disebut sebagai tanda dan pelayan kesatuan seluruh Gereja” (KGK 1369).
Sering kita diingatkan oleh Bapa Suci Benediktus XVI bahwa kita seharusnya merayakan liturgi bukan sebagai sebuah acara yang bisa kita rombak sesuka hati, mengikuti mode atau teori yang sedang beredar, melainkan kita seharusnya merayakannya sebagai sebuah realitas yang lebih besar dari diri kita, sebuah realitas yang melampaui diri kita dan membentuk doa kita. Bapa Suci mengajarkan kita bagaimana merayakan liturgi melalui ajarannya sendiri, tetapi juga melalui kepribadiannya dalam memimpin liturgi, di mana terpancar suasana sakral, indahnya selebrasi dan eloknya tradisi Gereja.
Amat pentinglah menekankan kembali kesetiaan kita pada norma-norma mengenai liturgi Gereja: para uskup dan para imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukanlah penguasa liturgi, seakan-akan dapat mengubahnya sesuka hati, dan demikian juga umat tidak boleh berpikir bahwa acara-acara liturgis mesti sesuai dengan keinginan mereka. Liturgi bukanlah milik manusia dan tidak boleh dimanipulasi sesuka hati oleh siapapun!
Sekali lagi, mengenai liturgi juga, kita mesti bertanya kepada diri kita apakah kita sudah selaras dengan ajaran dan contoh pribadi Bapa Suci.
c) Ikatan Disiplin. “Yesus mempercayakan kepada Petrus … ‘kuasa kunci-kunci’ yang berarti wewenang untuk memimpin rumah Allah, ialah Gereja” (KGK 553). Kepada Petrus dan para penerusnya, serta kepada para uskup yang bersatu dengan Paus, dipercayakan tugas bukan saja untuk mengajar dan menguduskan, melainkan juga diberi tugas untuk menggembalakan umat Allah. Oleh karena itu, mereka menentukan perintah dan norma yang mesti kita terima dengan hormat dan sikap taat, karena “Hukum Allah yang dipercayakan kepada Gereja, diajarkan kepada umat beriman sebagai jalan kehidupan dan kebenaran” (KGK 2037). Tentu norma dan peraturan ini bukanlah keputusan yang diambil sewenang-wenang oleh orang yang berkuasa, melainkan melaluinya kita dapat mengetahui kehendak Allah. Hal ini dikatakan oleh Paus Benediktus XVI pada awal mandatnya sebagai Paus: “Program kepemimpinan saya yang sebenarnya bukanlah melakukan kehendak saya, bukanlah juga mengikuti pendapat saya, melainkan, bersama seluruh Gereja, mendengarkan Sabda dan kehendak Tuhan guna membiarkan diri dibimbing-Nya, agar Dialah sendiri menjadi pemimpin Gereja pada jaman sekarang” (Homili 24 April 2005).
Di masa sekarang sering orang berpikir bahwa hukum dan wewenang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia, padahal hukum seharusnya membantu kita untuk menghayati kebebasan menurut kebenaran demi kebaikan setiap umat manusia. Dalam komunitas Kristiani pun, masih ada persepsi keliru seperti ini, yakni bahwa hukum bertentangan dengan sikap pastoral, sedangkan sebenarnya tujuan dari hukum adalah kebaikan umat sendiri. Demikian juga, sering terjadi bahwa, dengan alasan pastoral, kita melakukan ketidakadilan dan penyelewengan. Beatus Yohannes Paulus II pernah mengatakan bahwa Gereja membutuhkan norma-norma “karena hubungan timbal balik di antara para orang beriman mesti diatur secara adil, berdasarkan kasih, dengan juga menjamin dan memastikan hak setiap pribadi” (Konstitusi Apostolik Sacrae Disciplinae Leges).
Persekutuan dengan Bapa Suci yang benar harus melalui ketaatan pada norma dan peraturan dari Tahta Suci. Kita tidak bisa menyebut diri bersatu dengan Sang Penerus Petrus jika kita melupakan, menolak, atau mengabaikan norma dan peraturan ini, dengan alasan bahwa kita mesti menyesuaikan diri dengan situasi lokal atau dengan kebudayaan setempat. Perlu ditegaskan kembali kepada semua imam dan umat, bahwa kita harus taat pada Gereja dan gembalanya!
4. Hari ini kita merayakan Hari Raya “Santo Petrus dan Paulus yang darinya Gereja menerima dasar-dasar iman” (Doa Pembuka). Pewartaan ini menyatakan bahwa Yesus adalah Kristus, Putra Allah, sebagaimana dinyatakan oleh Petrus sendiri. Di dalam dan dari Gerejalah, yang telah didirikan atas batu karang Petrus, kita menerima, mengembangkan dan memberi kesaksian akan iman kita.
Marilah kita mempercayakan Bapa Suci Benediktus XVI serta pelayanannya kepada perantaraan para Rasul suci dan memohon bagi kita dan seluruh gereja agar kita dapat semakin memperkuat ikatan iman, doa dan ketaatan dengan sang Penerus Petrus, agar Gereja di Indonesia dan di seluruh dunia dapat menunaikan misi yang dipercayakan Tuhan kepadanya, dengan semangat baru.