Tuesday, 11 December 2012

Alasan Kenapa Vatikan Larang Imam Pakai Busana Awam


YU Tarcisio Kardinal Bertone
Alasan Kenapa Vatikan Larang Imam Pakai Busana Awam. Atas petunjuk Paus Benedictus XVI, Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Bertone baru-baru ini (15 Oktober 2012) mengeluarkan surat yang melarang uskup dan imam di Vatikan dan Roma mengenakan busana awam. Larangan ini berlaku juga untuk para uskup dari seluruh dunha yang berkunjung ke Roma. Surat ini menjadi topik perbincangan yang hangat di berbagai kalangan, meski sebenarnya petunjuk senada pernah dikeluarkan Paus Beato Yohanes Paulus II tiga puluh tahun yang silam. Seperti apa bunyi surat Kardinal Bertone? Berikut ini saya sampaikan terjemahannya. Pada bagian akhir ada pula link ke artikel jurnalis kondang Sandro Magister, yang memuat surat asli lengkap dengan analisisnya.

“Dalam Ketaatan pada Tugas Sebagai Panutan”

Dari Vatikan, 15 Oktober 2012

Yang terhormat Para Yang Utama Kardinal/Para Yang Mulia Uskup Agung dan Uskup,

dengan surat ini saya ingin meminta perhatian Anda tentang pentingnya disiplin mengenai pemakaian sehari-hari busana gerejawi (jubah atau kemeja ber-collar) dan busana religius, sebagaimana diamanatkan oleh norma-norma untuk hal ini [Kanon 284] dan sesuai dengan alasan-alasan yang diilustrasikan dan dijelaskan secara lengkap pada masanya oleh Beato Yohanes Paulus II dalam suratnya kepada Kardinal Vikaris Jendral Keuskupan Roma, tertanggal 8 September 1982.

Pada waktu di mana semua orang secara khusus dipanggil untuk memperbarui kesadaran dan konsistensi dengan identitasnya, atas permintaan yang terhormat [Catatan: artinya, atas permintaan Paus] saya datang untuk meminta Yang Utama Kardinal dan Yang Mulia Uskup Agung dan Uskup untuk memastikan kepatuhan pada aturan di atas bagi para imam dan religius yang bekerja pada Dikasterium/Trhbunal/Kantor/Vikariat [=Keuskupan Roma], memperhatikan kewajiban untuk mengenakan, secara reguler dan dengan bermartabat, jubah yang benar, dalam setiap musim, di antaranya dalam mematuhi tugas sebagai panutan [Catatan: frase ini aslinya dicetak miring] yang merupakan kewajiban bagi mereka yang memberikan layanan kepada penerus Petrus.

Contoh yang sangat baik dari mereka yang, dimeteraii dengan martabat uskup, setia pada pemakaian setiap hari jubah yang sesuai bagi mereka, selama jam kerja, menjadi dorongan yang eksplisit bagi semua, termasuk bagi Para Uskup dan bagi semua yang mengunjungi Kuria Romawi dan Kota Vatikan.

Pada kesempatan ini, lebih lanjut, di antaranya untuk menghindari ketidakpastian dan untuk memastikan keseragaman, hendaknya diingat bahwa pemakaian “abito piano” diwajibkan untuk partisipasi dalam setiap acara di mana Bapa Suci hadir, dan juga untuk Rapat-Rapat Pleno dan Biasa, Rapat-Rapat Antardikasterium, Resepsi Kunjungan “ad limina” dan berbagai tugas resmi dari Takhta Suci.

Uskup Surabaya dalam "abito piano"
(klik untuk memperbesar foto)

Sambil bersyukur atas kerjasamanya, saya dengan gembira menggunakan kesempatan ini untuk menyatakan penghargaan dari lubuk hati yang paling dalam bagi Para Yang Utama/Mulia yang terhormat.

Sungguh mengabdi dalam Tuhan,

+ Tarcisio Card. Bertone
Sekretaris Negara

Berikut adalah artikel yang relevan, untuk referensi:

Saturday, 13 October 2012

Organ Pipa Adalah Alat Musik Gereja Katolik


Organ Pipa (Foto: Corbis)
Organ Pipa Adalah  Alat Musik Gereja Katolik. "Organ pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional Gereja Latin; suaranya mampu menyemarakkan upacara-upacara ibadat secara mengagumkan, dan dengan mantap mengangkat hati umat ke hadapan Allah dan ke alam surgawi. ..." (Musicam Sacram 62) Apa itu organ pipa dan apa bedanya dengan organ atau keyboard yang ada di banyak gereja di Indonesia? Saya akan coba paparkan secara singkat, dengan bahasa yang sederhana, agar dapat dimengerti umat awam.

Organ elektronik, electone, clavinova, keyboard atau alat musik lain yang biasa dipakai di gereja, yang bisa mengeluarkan "suara organ", umumnya menghasilkan "suara organ" itu dengan bantuan komponen elektronik yang merekam atau mereproduksi "suara organ" yang asli, yang dalam hal ini adalah organ pipa.

Organ pipa sendiri adalah alat musik tiup. Sama prinsip kerjanya dengan peluit yang dipakai pramuka (lihat foto close up pipa-pipa organ di samping). Suara organ pipa dihasilkan dengan meniupkan udara bertekanan ke pipa-pipa, yang jumlahnya bisa ratusan, ribuan dan bahkan puluhan ribu di organ pipa raksana. Lalu, bagaimana cara menghasilkan nada yang berbeda? Dengan pembedaan panjang dan diameter pipa. Untuk membuat organ pipa, kumpulan pipa-pipa yang berbeda panjang dan diameternya ditancapkan pada sebuah kotak berisi udara bertekanan. Masing-masing pipa memiliki katup yang dapat dikontrol dengan menekan tuts keyboard. Waktu sebuah tuts ditekan, suatu katup tertentu terbuka dan udara bertekanan yang ada di dalam kotak keluar melewati suatu pipa pertentu, terdengarlah bunyi nada tertentu yang dihasilkan oleh pipa itu.

Foto di sebelah kiri ini adalah pipa-pipa penghasil suara yang menancap pada kotak dengan udara bertekanan. Perhatikan panjang dan diameter pipanya yang berbeda-beda. Pipa-pipa ini terletak di bagian dalam organ dan tidak terlihat oleh umat. Biasanya memang hanya sebagian kecil saja pipa-pipa organ yang dapat dilihat umat seperti dalam foto pertama di atas. Sebagian besar lainnya tersembunyi di belakang pipa-pipa besar yang cantik itu. Pipa-pipa facade yang cantik di bagian depan organ itu biasanya didesain secara khusus, dipadukan dalam wadah kayu berukir yang indah, disesuaikan dengan arsitektur gereja, dan, pada akhirnya juga berfungsi memperindah gereja.

Pada umumnya keyboard suatu organ pipa terdiri dari lima oktaf, mulai dari do paling rendah (C) sampai ke do paling tinggi (c""). Jumlah seluruhnya ada 61 not. Keyboard yang dimainkan dengan tangan biasa disebut manual (dari bahasa Latin "manus" yang artinya tangan). Ada organ yang memiliki satu manual, ada yang dua, ada yang tiga, bahkan ada yang tujuh. Selain itu, ada pula keyboard yang dimainkan dengan kaki, yang disebut pedal (dari bahasa Latin "pes" yang artinya kaki). Umumnya organ memiliki satu pedal saja, total dua setengah oktaf, 30 atau 32 not.

Kalau jumlah notnya dari yang terendah sampai yang tertinggi hanya 61, lalu manual dan pedalnya paling banyak 8 di suatu organ raksana, kenapa pipanya bisa ribuan bahkan sampai puluhan ribu? Jawabnya adalah timbre atau warna suara. Bahasa awamnya begini, bunyi suling, bunyi terompet, bunyi trombon, dll. Masing-masing bunyi itu dihasilkan oleh satu set pipa yang disebut rank, total 61 not, atau 30/32 not kalau dimainkannya pakal pedal. Kalau kita lihat kembali foto pipa-pipa di atas, ada banyak model pipa kan? Ada yang biasa, ada yang kotak, dan ada juga yang terbuat dari kayu. Nah, pipa-pipa itu lah yang menghasilkan timbre yang berbeda.

Saya sudah menjelaskan dan menunjukkan beberapa foto. Kurang lengkap rasanya kalau belum mendengarkan sendiri suaranya atau menyaksikan videonya. Silakan coba beberapa contoh di bawah ini, atau cari sendiri di YouTube atau situs lainnya:

Theo Flury OSB: Improvization Regina Caeli
NN: Toccata and Fugue in D Minor
Julius Reubke: Sonata on the 94th Psalm (Fugue)

Jangan kecil hati setelah mendengarkan atau menonton itu semuanya. Tidak semua organ pipa sekelas yang dimainkan di situ. Coba lihat contoh organ pipa di foto di sebelah ini. Itu cocok untuk gereja yang agak kecil atau bahkan kapel. Juga, organis paroki pun tidak perlu punya kepandaian seperti para maestro dalam rekaman-rekaman itu.

Dengan tulisan ini saya berharap agar makin banyak orang mengenal organ pipa; dan makin banyak juga uskup di Indonesia yang mau mempertimbangkan pembelian organ pipa untuk katedral atau gereja besar dalam keuskupannya. Saya pernah mendengarkan organ pipa di Katedral Jakarta dan Bandung dimainkan. Sungguh agung!

Organ pipa bukanlah instrumen dari abad pertengahan yang sudah ketinggalan jaman. Sampai hari ini pembuat organ pipa masih aktif menerima pesanan dari gereja-gereja dan concert hall baru. Banyak gereja baru membangun organ pipa dengan desain modern dan futuristik. Foto di sebelah ini adalah organ pipa di St. Mary Cathedral di Tokyo yang dibikin tahun 2004. Untuk info selengkapnya silakan klik di sini. Organ pipa adalah yang terhebat dari segala macam alat musik. Ia masih akan terus menjadi yang terhebat. Sungguh terpuji kalau untuk Tuhan kita berikan yang terhebat!

Saat ini di Indonesia hanya ada dua orang yang bisa membangun dan memelihara organ pipa. Yang pertama adalah Pak Benedictus Martino Hidajat, umat Katolik dari Semarang yang pernah beberapa tahun bekerja di pembuat organ ternama di Jerman dan Selandia Baru. Yang kedua adalah Pak Suwandi, seorang muslim yang pernah dikirim ke Belanda untuk belajar membuat dan memperbaiki organ oleh Pendeta Harry van Dop (HA Pandopo) dari Yamuger. Pendeta Harry van Dop dan Romo Antonius Soetanta SJ adalah pakar-pakar organ pipa dan musik Gereja. Beliau berdua sering bekerja sama dan namanya banyak kita temukan dalam buku nyanyian Puji Syukur.

Alternatif lain dari membangun sebuah organ pipa baru adalah membeli yang bekas dari gereja-gereja di luar negeri yang sudah tidak dipakai lagi atau yang mau mengganti organ pipanya dengan yang baru. Alternatif lainnya lagi adalah membeli organ pipa elektronik yang bagus, misalnya bikinan Rodgers Instrument (foto samping). Di Katedral Jakarta dan Bandung, selain organ pipa asli, ada juga organ Rodgers. Bunyinya bagus sekali. Orang awam mungkin tidak bisa membedakan antara bunyi organ pipa asli dengan bunyi organ Rodgers. Coba dengarkan bunyi produk terbaru Rodgers ini:

Rodgers Infinity 243

Saya akan berhenti sampai di sini saja. Buat yang tertarik untuk mempelajari lebih jauh, Anda bisa baca artikel Wikipedia tentang Pipe Organ dan/atau kontak saya untuk berdiskusi lebih mendalam. Oh ya, saya bukan pakar organ pipa. Saya bahkan tidak bisa bermain musik. Saya hanya mendalami ini karena ingin ikut melestarikan tradisi Gereja Katolik kita yang agung. Mengulangi kutipan dari Musicam Sacram yang diundangkan Paus Paulus VI pada tahun 1967 di atas, "Organ pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional Gereja Latin; suaranya mampu menyemarakkan upacara-upacara ibadat secara mengagumkan, dan dengan mantap mengangkat hati umat ke hadapan Allah dan ke alam surgawi. ..." (Musicam Sacram 62)

Foto-foto: Corbis, Rodgers & St. Mary Cathedral, Tokyo

Saturday, 30 June 2012

Hari Raya St. Petrus & St. Paulus: Misa Agung Nuncio di Katedral Jakarta


Mosaik St. Petrus & St. Paulus. (Foto: Corbis)
Jumat, 29 Juni 2012 kita memperingati Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus. Nuntius Apostolik, Yang Mulia Uskup Agung Antonio Guido Filipazzi, merayakan Misa Agung di Katedral Jakarta. Mendampingi beliau sebagai konselebran adalah: Uskup Agung Medan YM Anicetus Bongsu Antonius Sinaga OFMCap, Uskup Bogor YM Michael Cosmas Angkur OFM, Vikjen KAJ Mons. Dr. Yohanes Subagyo dan Rektor Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ Romo Dr. Simon Petrus Lili Tjahjadi.

Duta Besar Chile beserta istri dan juga Duta Besar Peru terlihat mengikuti Misa ini dengan khusyuk. Sejumlah imam dan frater dari Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ mengisi bangku-bangku terdepan. Di belakangnya, sekitar 400-an umat memenuhi bangku-bangku gereja. Misa dimeriahkan oleh paduan suara gabungan di bawah pimpinan Levi Prakasa Setiadi. Mereka menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Latin. Kepala Paroki Katedral, Romo ST Bratakartana, SJ, yang sejak sejam sebelumnya sudah memeriksa kesiapan gereja dan para petugas, juga berpartisipasi dalam Misa ini bersama seorang imam senior lainnya.

Misa dirayakan dalam bahasa Indonesia, dengan bacaan pertama, kedua dan doa umat dalam bahasa Inggris. Doa Syukur Agung dipanjatkan dalam bahasa Latin dan Indonesia oleh Nuntius dan para konselebran. Buklet Misa dalam tiga bahasa disediakan agar umat dapat mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam Misa. Berikut adalah Homili Nuntius, yang disampaikan beliau dalam bahasa Indonesia (Sumber: Kedutaan Besar Tahta Suci untuk Indonesia).

Homili Duta Besar Tahta Suci untuk Indonesia
Yang Mulia Uskup Agung Antonio Guido Filipazzi
Pada Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus
29 Juni 2012

1. Kita baru mendengar dalam Injil kata-kata yang diucapkan Tuhan Yesus untuk mempercayakan tugas yang amat penting kepada Rasul Petrus: yakni menjadi batu karang yang kokoh sebagai dasar bangunan Gereja, agar Gereja mampu menjalankan pertempuran melawan alam maut. Oleh karena itu, tugas ini bukanlah tugas yang dipercayakan kepada pribadi Petrus saja, melainkan merupakan tugas yang mesti diteruskan dalam Gereja sampai akhir jaman. Tugas ini dipercayakan kepada semua penerus rasul Petrus dan sekarang dipercayakan kepada Bapa Suci Benediktus XVI. Dalam perayaan Ekaristi ini kita ingin mendoakan Sri Paus agar Tuhan memberkatinya dan tetap memeliharanya sebagai gembala umat Kristiani, dan juga sebagai sosok penting bagi seluruh umat manusia. Paus Benediktus XVI sendiri mengajak kita untuk melakukannya dengan mengatakan: “Saudara-saudari yang terkasih, Bapa Suci sangat terhibur mengetahui bahwa setiap kali dirayakan Ekaristi, seluruh umat mendoakan Sri Paus; saya juga terhibur mengetahui bahwa doa kita menyatu dengan doa Tuhan untuk Petrus. Hanya berkat doa Tuhan dan doa Gereja, Sri Paus dapat menjalankan tugasnya untuk memperkuat umat – untuk menggembalakan kawanan Yesus serta menjadi penjamin kesatuan, yang merupakan kesaksian tersendiri akan misi Yesus sebagai utusan Bapa” (Homili Misa Perjamuan Tuhan, 2011).

2. Sebagaimana diajarkan oleh Konsili Vatikan II, yang mengacu pada iman Gereja sepanjang sejarah, Sri Paus “menjadi azas dan dasar yang kekal dan kelihatan bagi kesatuan para uskup maupun segenap kaum beriman” (LG 23). Bersama Bapa Suci dan di bawah pimpinannya, kita semua, dari seluruh dunia, menjadi Gereja yang satu.

Oleh karena itu, amat pentinglah jika setiap umat serta setiap komunitas Kristiani menjaga persekutuan sepenuhnya dengan Paus. Namun, itu tidak berarti bahwa cukuplah bagi kita untuk menyayanginya, atau merasa tertarik secara intelektual akan perkataannya, ataupun mengungkapkan antusiasme superfisial saja. Kita mesti bersatu dengan Sri Paus melalui pertalian yang obyektif, yang kelihatan, yang konkrit, yakni ikatan-ikatan yang menyatukan kita semua dalam Gereja.

“Manakah ikatan-ikatan kesatuan?” ditanyakan oleh Katekismus Gereja Katolik. Katekismus sendiri menjawab: “Terutama cinta, yakni ‘ikatan kesempurnaan’” (Kol 3:14). Tetapi kesatuan Gereja peziarah juga diamankan oleh ikatan persekutuan yang tampak berikut ini: pengakuan iman yang satu dan sama, yang diwariskan oleh para Rasul; perayaan ibadat bersama, terutama Sakramen-Sakramen; suksesi apostolik, yang oleh Sakramen Tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai saudara-saudari dalam keluarga Allah” (KGK 815).

Hari ini kita akan merenungkan secara singkat ketiga pertalian ini yang mengikat kita dengan Sri Paus, guna menjaga persekutuan dengan dia serta membangun persekutuan yang benar dalam Gereja sendiri.

3. a) Pertalian Iman. Di dalam Gereja, Petrus dan para penerusnya melanjutkan pewartaan: “Engkaulah Kristus, Putra Allah yang hidup,” yakni pernyataan yang merupakan pusat dari seluruh iman Kristiani. Pertalian pertama yang mesti kita jaga dengan Sri Paus adalah persekutuan dalam iman, dan itu terealisasikan melalui perhatian, pengetahuan dan penerimaan ajaran Gereja sendiri. Suara Sri Paus bukanlah salah satu pendapat di antara yang lain, tidak sejajar juga dengan pendapat para teolog, bahkan tidak sejajar juga dengan suara para uskup, melainkan merupakan kriteria untuk menilai ajaran-ajaran yang diajarkan dalam Gereja, serta pendapat dan teori yang disebarluaskan dalam masyarakat. Sebagaimana diajarkan oleh Katekismus Gereja Katolik, “tugas untuk menafsirkan Sabda Allah secara mengikat, hanya diserahkan kepada Magisterium Gereja, kepada Bapa Suci dan kepada para uskup yang bersatu dengannya dalam satu paguyuban” (KGK 100). Katekismus juga mengatakan bahwa: “Wewenang Mengajar biasa dan universal dari Paus dan dari para uskup, yang bersatu dengannya, mengajarkan kepada umat beriman kebenaran yang harus dipercaya, kasih yang harus dihidupi, dan kebahagiaan yang patut diharapkan.” (KGK 2034)

Paus Benediktus XVI, yang merupakan guru dalam hal iman, dan merupakan juga anugerah dari Allah kepada seluruh Gereja-Nya, telah mengajak kita untuk merayakan Tahun Iman, mulai bulan Oktober mendatang. Sri Paus mengajak kita terutama sekali untuk mengenal kembali isi dari iman Kristiani, melalui Katekismus Gereja. Harapan Sri Paus selama Tahun Iman ialah agar: “semakin diperdalam iman guna membantu semua umat Kristiani untuk lebih menyadari serta memperkuat penyerupaan mereka dengan Injil, pada jaman sekarang” (MP Porta Fidei 8).

Mari kita bertanya kepada diri kita apakah ajaran resmi Gereja dan gembala-gembalanya, dan khususnya ajaran dari Paus sendiri serta Katekismus Gereja Katolik sungguh kita ketahui dan menjadi kriteria untuk menilai pendapat-pendapat yang beredar di dalam dan di luar Gereja. Tidak perlu menanggapi pembicaraan Bapa Suci dengan bertepuktangan, melainkan dia harapkan agar ajarannyalah menjadi patokan untuk pemikiran dan perbuatan kita!

b) Ikatan Liturgi. Liturgi, yang puncaknya adalah perayaan sakramen, terutama sekali Perayaan Ekaristi, merupakan doa seluruh Gereja, doa Gereja yang satu yang terdiri dari orang kudus, orang yang sudah meninggal dan kita semua. Liturgi ialah doa dari Gereja yang tersebar di seluruh dunia dan dipimpin oleh Paus dan para uskup. Oleh karena itu, setiap kali Misa, dalam Doa Syukur Agung, kita memperingati Bunda Maria, para kudus, Bapa Suci dan para uskup, dan juga seluruh Gereja yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Katekismus Gereja Katolik mengatakan: “Karena kepada Paus diserahkan pelayanan Petrus di dalam Gereja, maka ia diikutsertakan dalam setiap perayaan Ekaristi, di mana ia disebut sebagai tanda dan pelayan kesatuan seluruh Gereja” (KGK 1369).

Sering kita diingatkan oleh Bapa Suci Benediktus XVI bahwa kita seharusnya merayakan liturgi bukan sebagai sebuah acara yang bisa kita rombak sesuka hati, mengikuti mode atau teori yang sedang beredar, melainkan kita seharusnya merayakannya sebagai sebuah realitas yang lebih besar dari diri kita, sebuah realitas yang melampaui diri kita dan membentuk doa kita. Bapa Suci mengajarkan kita bagaimana merayakan liturgi melalui ajarannya sendiri, tetapi juga melalui kepribadiannya dalam memimpin liturgi, di mana terpancar suasana sakral, indahnya selebrasi dan eloknya tradisi Gereja.

Amat pentinglah menekankan kembali kesetiaan kita pada norma-norma mengenai liturgi Gereja: para uskup dan para imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukanlah penguasa liturgi, seakan-akan dapat mengubahnya sesuka hati, dan demikian juga umat tidak boleh berpikir bahwa acara-acara liturgis mesti sesuai dengan keinginan mereka. Liturgi bukanlah milik manusia dan tidak boleh dimanipulasi sesuka hati oleh siapapun!

Sekali lagi, mengenai liturgi juga, kita mesti bertanya kepada diri kita apakah kita sudah selaras dengan ajaran dan contoh pribadi Bapa Suci.

c) Ikatan Disiplin. “Yesus mempercayakan kepada Petrus … ‘kuasa kunci-kunci’ yang berarti wewenang untuk memimpin rumah Allah, ialah Gereja” (KGK 553). Kepada Petrus dan para penerusnya, serta kepada para uskup yang bersatu dengan Paus, dipercayakan tugas bukan saja untuk mengajar dan menguduskan, melainkan juga diberi tugas untuk menggembalakan umat Allah. Oleh karena itu, mereka menentukan perintah dan norma yang mesti kita terima dengan hormat dan sikap taat, karena “Hukum Allah yang dipercayakan kepada Gereja, diajarkan kepada umat beriman sebagai jalan kehidupan dan kebenaran” (KGK 2037). Tentu norma dan peraturan ini bukanlah keputusan yang diambil sewenang-wenang oleh orang yang berkuasa, melainkan melaluinya kita dapat mengetahui kehendak Allah. Hal ini dikatakan oleh Paus Benediktus XVI pada awal mandatnya sebagai Paus: “Program kepemimpinan saya yang sebenarnya bukanlah melakukan kehendak saya, bukanlah juga mengikuti pendapat saya, melainkan, bersama seluruh Gereja, mendengarkan Sabda dan kehendak Tuhan guna membiarkan diri dibimbing-Nya, agar Dialah sendiri menjadi pemimpin Gereja pada jaman sekarang” (Homili 24 April 2005).

Di masa sekarang sering orang berpikir bahwa hukum dan wewenang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia, padahal hukum seharusnya membantu kita untuk menghayati kebebasan menurut kebenaran demi kebaikan setiap umat manusia. Dalam komunitas Kristiani pun, masih ada persepsi keliru seperti ini, yakni bahwa hukum bertentangan dengan sikap pastoral, sedangkan sebenarnya tujuan dari hukum adalah kebaikan umat sendiri. Demikian juga, sering terjadi bahwa, dengan alasan pastoral, kita melakukan ketidakadilan dan penyelewengan. Beatus Yohannes Paulus II pernah mengatakan bahwa Gereja membutuhkan norma-norma “karena hubungan timbal balik di antara para orang beriman mesti diatur secara adil, berdasarkan kasih, dengan juga menjamin dan memastikan hak setiap pribadi” (Konstitusi Apostolik Sacrae Disciplinae Leges).

Persekutuan dengan Bapa Suci yang benar harus melalui ketaatan pada norma dan peraturan dari Tahta Suci. Kita tidak bisa menyebut diri bersatu dengan Sang Penerus Petrus jika kita melupakan, menolak, atau mengabaikan norma dan peraturan ini, dengan alasan bahwa kita mesti menyesuaikan diri dengan situasi lokal atau dengan kebudayaan setempat. Perlu ditegaskan kembali kepada semua imam dan umat, bahwa kita harus taat pada Gereja dan gembalanya!

4. Hari ini kita merayakan Hari Raya “Santo Petrus dan Paulus yang darinya Gereja menerima dasar-dasar iman” (Doa Pembuka). Pewartaan ini menyatakan bahwa Yesus adalah Kristus, Putra Allah, sebagaimana dinyatakan oleh Petrus sendiri. Di dalam dan dari Gerejalah, yang telah didirikan atas batu karang Petrus, kita menerima, mengembangkan dan memberi kesaksian akan iman kita.

Marilah kita mempercayakan Bapa Suci Benediktus XVI serta pelayanannya kepada perantaraan para Rasul suci dan memohon bagi kita dan seluruh gereja agar kita dapat semakin memperkuat ikatan iman, doa dan ketaatan dengan sang Penerus Petrus, agar Gereja di Indonesia dan di seluruh dunia dapat menunaikan misi yang dipercayakan Tuhan kepadanya, dengan semangat baru.

Tuesday, 10 January 2012

Paroki "Modern" vs "Tradisional"?


Mission San Jose

Akhir 2011 yang lalu saya pergi nengok anak yang kuliah di dekat San Francisco, California, Amerika Serikat. Bersama keluarga, saya tinggal di rumah kakak ipar di kota Fremont, 45 menit ke arah tenggara San Francisco. Mungkin sama dengan Jakarta-Bogor lah, kalau tanpa macet. Dalam kunjungan kali ini, tiga minggu saya berkesempatan melihat dua paroki yang sungguh berbeda. Itulah yang akan saya bagi kali ini.

Rumah kakak ipar saya hanya dua ratus meter jaraknya dari sebuah kompleks gereja tua, Mission San Jose Church atau Gereja Misi Santo Yosep (foto atas) di Fremont. Gereja ini didirikan tahun 1797 oleh imam-imam Fransiskan dari Spanyol, yang datang ke California bersama para serdadu Spanyol. Memang begitulah, serdadunya dikirim Raja Spanyol untuk menemukan dunia baru, klerusnya pun menyertai untuk membawa kabar gembira bagi warga dunia baru. Keseluruhannya ada 22 Gereja Misi di California yang didirikan para imam Fransiskan. California adalah negara bagian Amerika Serikat yang memiliki sejarah sangat dekat dengan misi Gereja Katolik. Mungkin kita tidak sadar, beberapa nama kota di sana sungguh amat Katolik.  Ada San Francisco (Santo Fransiskus-dari Asisi), Los Angeles (Kota Para Malaikat), San Diego (Santo Didacus-dari Alcala), San Jose (Santo Yosep) dan puluhan lagi lainnya. Dalam Bahasa Spanyol memang, kan mereka yang mendirikan.

Bangunan gereja Mission San Jose yang ada di foto di atas (klik di sini untuk foto-foto lainnya, karya Glenn Simmons) adalah hasil restorasi dari bangunan aslinya yang hancur karena gempa bumi dan kebakaran. Bangunan gereja kuno itu saat ini masih dipakai, tapi hanya untuk Misa harian, agar tidak cepat rusak. Di sebelah bangunan gereja kuno itu sudah didirikan bangunan gereja baru yang lebih besar, yang saat ini dipakai untuk kegiatan umat paroki setempat. Bangunan gereja barunya, seperti layaknya bangunan gereja baru ukuran sedang di Amerika, berarsitektur modern minimalis dan terang benderang. Mirip aula besar, minus kesan agung dan sakral yang ada di bangunan gereja kunonya.

Paroki Mission San Jose ini saya kategorikan saja sebagai paroki yang "modern", meski saya sendiri kurang sreg dengan label ini. Misa harian pukul 8:00 di gereja kunonya dihadiri 30-an orang. Beberapa kali saya ikutan. Hangat dan akrab suasananya. Di dalam gereja kuno yang indah, temaram dan sakral itu, umat dengan santai mengobrol sebelum dan sesudah Misa. Imamnya pun ikutan. Saya sebenarnya merasa kurang sreg, tapi toh saya masih berusaha mencari pembenarannya. Mungkin karena di luar gereja hawanya dingin. Sekitar 5-10 derajat Celcius di musim dingin. Liturgi di Misa harian gereja ini agak tidak lazim. Ada beberapa penyimpangan serius dari aturan. Satu contoh yang menonjol, dari awal Misa sampai akhir Liturgi Sabda, imamnya duduk di bangku umat paling depan. Baru saat Liturgi Ekaristi beliau naik ke panti imam. Selesai bagi komuni dan beres-beres, beliau duduk kembali di bangku umat. Nggak pas, nggak sesuai dengan fungsinya sebagai pemimpin ibadat. Misa hari Minggunya, yang diadakan di bangunan gereja yang baru, pun bersuasana meriah dan hangat. Untuk yang ini imamnya duduk di kursi presiden, seperti yang seharusnya. Kesan singkat saya, paroki ini hidup. Umatnya akrab satu sama lain dan tampak menikmati interaksi antar mereka, termasuk ngobrol dan tertawa-tawa di dalam bangunan gereja setelah Misa.

Our Lady of Peace ChurchAda sebuah paroki lain yang beberapa kali saya datangi juga, kira-kira 15 menit bermobil dari rumah kakak ipar saya. Tepatnya di kota Santa Clara, di bagian selatan Lembah Silikon, pusat teknologi informasi Amerika. Paroki Our Lady of Peace atau Ratu Damai namanya. Lokasinya tidak jauh dari Kantor Yahoo!, perusahaan teknologi kondang yang kita kenal. Bangunan gereja mereka termasuk baru (foto samping). Dari luar sepintas mirip dengan bangunan baru Gereja Mission San Jose di atas. Bagian dalamnya aja yang beda. Tidak terlalu nampak modern minimalis. Tidak terang benderang, malahan cenderung gelap dan temaram. Suasana di dalam gereja ini sungguh sakral. Tidak ada yang tampak mengobrol. Semuanya dalam suasana doa atau setidaknya diam khidmat. Agak kontras dengan paroki tetangga di atas. Di dalam gereja ini ada adorasi abadi yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun. Monstrans-nya (Tempat Mentakhtakan Sakramen Mahakudus) diletakkan di atas Tabernakel yang ada di poros tengah panti imam. Ada tirai kecil untuk menutup monstrans ini saat Misa berlangsung.

Suasana Misa di Gereja Our Lady of Peace ini pun kontras dengan Gereja Mission San Jose. Kedua gereja ini memang sama-sama menggunakan organ pipa elektrik (bukan organ pipa asli). Tapi, yang satu banyak dimainkan mengiringi lagu-lagu bernuansa gembira, sedang yang lain mengiringi lagu-lagu yang syahdu dan khidmat. Gereja yang satu menggunakan misdinar perempuan, yang lain hanya laki-laki saja, dengan busana sesuai tradisi pula, jubah hitam atau merah dengan superpli putih.

Gereja Mission San Jose menggunakan Pelayan Komuni Tak Lazim Wanita, Gereja Our Lady of Peace mendayagunakan imam-imam yang tidak sedang mempersembahkan Misa. Gereja Our Lady of Peace hanya punya tiga imam saja. Kalau yang seorang mempersembahkan Misa, dua yang lain akan muncul membantu kala tiba saatnya membagi komuni. Keduanya memakai jubah imam warna hitam, superpli putih dan stola. Memang, masih ada suster-suster mereka yang juga membantu membagi komuni, tapi saya tidak melihat ada umat awam jadi Asisten Imam atau Pro-Diakon. Oh ya, saat tidak membagi komuni, kedua imam yang tidak mempersembahkan Misa ini berada di kamar pengakuan, menerima umat yang antri mengaku dosa, bahkan selama Misa berlangsung.

Penerimaan komuni di Gereja Our Lady of Peace hanya dilakukan dengan berlutut. Disediakan dua tempat berlutut panjang di depan altar, sekaligus menjadi pemisah panti imam dan bangku umat. Semua umat diharuskan berlutut di tempat itu, kecuali yang punya masalah kesehatan. Sebagian besar umat menerima komuni di lidah. Sisanya menerima di tangan seperti kebanyakan umat Indonesia, tetap sambil berlutut. Bagi saya, berlutut saat menerima komuni ini sungguh logis. Saat konsekrasi kita melihat Tubuh Kristus dari kejauhan sambil berlutut menghormati. Saat berada begitu dekat dengan Kristus, kenapa kita malah berdiri? Kalau Kristus benar-benar ada di depan Anda, tidakkah Anda tersungkur dan menyembah-Nya? Masihkah kita yakin bahwa itu roti itu benar-benar adalah Kristus? Bukan sekedar roti yang melambangkan Tubuh Kristus, tapi benar-benar adalah Tubuh Kristus?

Banyakkah umat yang datang ke Gereja Our Lady of Peace yang saya sebut "tradisional" ini? Luar biasa. Misa hariannya ada 3 kali. Di hari Rabu malah 4 kali, juga di hari Jumat pertama. Misa hari Minggu plus Sabtu malam jumlahnya 9 kali. Gerejanya hampir selalu penuh. Dari info yang saya dapat, lebih banyak di antara mereka yang berasal dari paroki lain. Apa karena imam-imam di situ pandai berhomili? Tidak juga. Pastor Kepala Parokinya yang bukan orang kulit putih berbicara Bahasa Inggris dengan aksen asing. Homilinya agak klise dan kurang terstruktur. Pastor pembantu yang muda juga biasa-biasa saja. Pastor pembantu yang lebih tua bisa dibilang paling bagus, tapi homilinya lama dan diulang-ulang. Satu saja yang sama dari mereka semuanya. Berani galak dan disiplin. Saat ada bunyi HP, mereka berhenti bicara dan menegur. Hampir satu gereja menoleh ke umat yang HP-nya bunyi. Oh ya, mereka menjelaskan bacaan-bacaan dengan gaya yang kalem tapi mantap. Nggak ada yang pakai gaya jurkam partai yang dialogis dan minta jawaban aklamatif dari umat, atau gaya pelawak yang mengundang tepuk tangan umat.

Hampir bisa dipastikan, Gereja Our Lady of Peace ini penuh bukan karena homili imamnya. Bisa jadi sebenarnya ada lebih banyak umat yang tidak sreg dengan "liturgi" partisipatif yang sentimental ala Gereja Evangelical dan Pentecostal yang belakangan dibawa segelintir orang masuk ke Gereja Katolik. Bisa jadi, ada lebih banyak umat yang merasa lebih bisa menemukan Tuhan dalam keheningan daripada dalam suasana hingar bingar. Mungkin ada lebih banyak umat yang ingin imamnya patuh pada aturan. Mungkin ada lebih banyak umat yang memilih kembali kepada tradisi luhur Gereja Katolik. Mungkin saya salah. Tapi kalau benar yang saya pikirkan, para imam di Indonesia tidak perlu kawatir kehilangan umat karena menolak kreativitas sekelompok orang yang merasa bosan dengan liturgi Gereja Katolik. Tetaplah setia kepada aturan liturgi dan tradisi Gereja kita sendiri. Seperti arahan Paus Benedictus XVI berkaitan dengan hal ini, "... I would say that a participative liturgy is important, but one that's not sentimental. Worship must not be simply an expression of sentiments, but raise up the presence and the mystery of God into which we enter and by which we allow ourselves to be formed." Paus sendiri tidak kawatir kehilangan umat, dan mengatakan, "We know that some return to the Catholic Church, or they move from one of these communities to the other. Thus, we don't need to imitate these communities ..." (Paus Benedictus XVI, Press Conference 18 Nov 2011)

Tuhan telah membuka mata saya. Saya pun telah membagi apa yang saya lihat di sini, plus menyertakan analisis singkat sebisa saya. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan bersama.

Foto: Glenn Simmons dan Marc Huelar